Rabu, 28 Juni 2023

Tujuan Syariat


Apakah kita pernah bertanya, adakah maksud dan tujuan dari terciptanya alam semesta dan seisinya ini? Sebagian kita mungkin pernah memikirkan hal tersebut, namun tak sedikit pula yang acuh, yang terpenting baginya mungkin adalah bangun di pagi hari, mandi, menyantap sarapan, dan seterusnya menjalani rutinitas yang memang dilakukan terus menerus sepanjang hayat.


Menariknya, otak disebut sebagai satu – satunya organ tubuh yang mencoba menjelaskan tentang dirinya sendiri. Facundo Manes dalam wawancaranya bersama BBC (2021). Jika otak, sebagai salah satu organ dari tubuh manusia berusaha untuk mencari tahu tentang dirinya, lalu bagaimana dengan manusia yang merupakan individu dengan kesadaran dan kecerdasan sebagai satu kesatuan yang utuh, merasa biasa – biasa saja tanpa bertanya tentang definisi ataupun tujuan dari eksistensi alam semesta yang terpampang jelas di depan matanya. Sangat aneh bukan?.


Oleh karena itu banyak dari kalangan ilmuwan yang berusaha untuk mencari tahu asal usul dari penciptaan alam semesta ini. Karena pada hakikatnya, kita sebagai manusia yang dibekali akal dan pikiran pasti memiliki pertanyaan – pertanyaan mendasar baik dalam definisi maupun sebab akibat dari adanya realitas yang kita rasakan setiap harinya.


Maka para ilmuwan, mereka menggunakan akal dan kecerdasannya untuk meneliti, mengamati, mempelajari, dan menyimpulkan semua teori yang mereka kemukakan. Sebagai contoh, dalam masalah teori penciptaan, ada banyak perselisihan di antara para ilmuwan. Lima di antaranya adalah Teori Big Bang (Alexandra Friedman 1922), Teori Keadaan Tetap (Fred Hoyle, Thomas Gold, dan Herman Bondi 1948), Teori Mengembang dan Memampat (Fred Hoyle), Teori Alam Semesta Kuantum (William Lane Craig 1966), Teori Berayun (lanjutan dari Teori Big Bang). Muhammad, Mengenal 5 Teori Terbentuknya Alam Semesta, gramedia.com (2021).


Sangat disanyangkan, dengan tingkat intelektual yang begitu tinggi, teori – teori tersebut hanya menjelaskan asal usul penciptaan alam semesta saja tanpa mampu menjelaskan tujuan dari terciptanya alam semesta dan kehidupan ini. Artinya mereka hanya berpikir sebatas teknis bagaimana mekasnime alam ini bekerja. Berbeda dengan para ulama kita yang berpikir jauh kepada tujuan dari eksistensi kehidupan itu sendiri. Tentunya para ulama berijtihad menggunakan dalil baik aqli maupun naqli dengan pemahaman yang benar. Dan berkat merekalah kita bisa belajar tentang makna kehidupan yang sesuhungguhnya dengan mudah dan ringkas.


Ketika para ulama ditanya tentang apa tujuan kita diciptakan, maka jawabannya adalah untuk beribadah kepada Sang Pencipta Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Adzariyat ayat 56 [وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ] yang artinya “tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah”. Dikutip dari tafsir Ath Thobari, bahwa telah berselisih para ahli tafsir dalam ayat ini, dan Sebagian mereka berkata: makna dari ayat tersebut adalah “tidaklah aku ciptakan orang – orang yang berbahagia dari kalangan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku, dan orang- orang yang tidak berbahagia di antara mereka adalah karena bermaksiat kepadaku”. quran.ksu.edu.sa.


Setelah kita mengetahui tujuan sesunggunhnya dari penciptaan alam semesta dan kehidupan ini ialah untuk beribadah kepada-Nya, kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’la menurunkan syari’at atau aturan kepada hamba – hamba-Nya. Sama halnya seperti penciptaan alam sesmesta beserta isinya yang memiliki tujuan, tentu diturunkannya syari’at ini pastilah memiliki tujuan. mari kita mencari tahu tentang tujuan dari syari’at yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala turunkan ini.


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa diturunkannya syari’at ini atau dalam kata lain dibentuk nya syari’at ini tidak lain adalah untuk sebuah tujuan. Dalam sebuah kitab karya Syekh  Abdul Aziz Bin Abdirrahman Bin Ali Bin Robi’ah disebutkan bahwa tujuan dari sang pembuat syari’at – Allah Subhanahu Wa Ta’ala – adalah pertimbangan-Nya dalam pembentukan syari’at ini, baik secara umum maupun secara khusus yaitu untuk maslahat atau kebaikan bagi hamba – hamba-Nya dengan cara mendatangkan manfaat bagi mereka ataupun melindungi mereka dari kerusakan. Abdul Aziz Bin Abdirrahman Bin Ali Bin Robi’ah Ilmu Maqoshidis Syari’ (2002:21).


Kutipan di atas adalah salah satu pengertia dari istilah “Maqoshidus Syari’” atau dalam Bahasa Indonesia disebut “Tujuan – Tujuan Sang Pembentuk Syari’at”. Kemudian beliau menambahkan beberapa penjelasan dari pengertian tersebut. Dalam kalimat “pertimbangan-Nya dalam pembentukan syari’at ini” menunjukkan bahwa hukum – hukum yang dibuat Allah Subhanahu Wa Ta’ala memiliki alasan. Dan semua yang tersusun di dalam hukum – hukum tersebut adalah kebaikan dan perlindungan dari kerusakan. Kemudian di dalam kalimat “secara umum maupun secara khusus” adalah untuk mencakup pengertian dari tujuan – tujuan yang umum dan tujuan – tujuan yang khusus. Dan yang terakhir yaitu “untuk maslahat atau kebaikan bagi hamba – hamba-Nya” maksudnya adalah apa yang tersusun di dalam pembentukan sebuah hukum dari hukum – hukum syari’at bertujuan mendatangkan manfaat dan melindungi dari kerusakan. Abdul Aziz Bin Abdirrahman Bin Ali Bin Robi’ah Ilmu Maqoshidis Syari’ (2002:21-22).


 Sekarang kita akan masuk ke pembahasan kita yaitu maqoshidus syari’ah atau tujuan – tujuan syari’at. Sedikit menambahkan, ketika kita menyebut tujuan syari’at maka hal tersebut tidaklah terlepas dari tujuan Sang Pembentuk syari’at tersebut yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sesungguhnya tujuan syari’at kepada ciptaan (Jin dan Manusia) ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Maka semua yang bisa menjaga lima dasar itu disebut maslahat. Dan semua yang berpotensi melenyapkan lima dasar itu disebut mafsadah. Lalu semua yang mencegah dari mafsadah tersebut adalah termasuk ke dalam maslahat. Al-Ghozali, Al-Mustashfa (1993:174).


Kemudian Abu Abdillah Al-Azroq, menambahkan di dalam Badai’ As-Suluk Fi Thobai’il Malik (194/1-195) tentang sebab perhatian syari’at kepada lima dasar tersebut, yaitu karena agama dan dunia itu dibangun di atas lima dasar tersebut. Dalam artian jika hilang agama tidak ada ganjaran atau hukuman, jika jiwa atau manusia itu sendiri yang hilang maka tidak ada lagi orang yang akan memeluk agama, jika akal itu hilang maka terangkatlah beban syari’at sebagaimana hewan, dan jika harta itu hilang maka akan lenyap pula kehidupan.


 Berkata As-Syathibi bahwa kelima dasar tersebut dapat dipertimbangkan dari dua sisi. Yaitu sisi menjaga eksistensinya, kemudian sisi menjaganya dari kebinasaan. Maka pembahasan tentang kelima dasar tadi akan berputar dalam dua sisi tersebut.


Dasar yang pertama yaitu agama. Dari sisi menjaga eksistensi agama, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman {وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ } [آل عمران: 85]. Yang artinya: "Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Al-Imran: 85). Dalam Tafsir Al-Muyassar / Kementrian Agama Saudi Arabia dikatakan “Dan barang siapa yang mencari agama selain agama islam yang itu merupakan kepasrahan kepada Allah dengan tauhid dan melaksanakan dengan ketaatan dan ibadah, dan kepada rosul Nya nabi yang menjadi penutup, Muhammad dengan beriman kepadanya dan mengikutinya serta mencintainya secara lahir maupun batin, maka tidak akan diterima darinya hal tersebut, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi yang menghinakan diri mereka oleh perbuata-perbuatan mereka sendiri.”.


 kemudian sisi menjaga agama dari kerusakan atau kepunahan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman { وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا}[النساء: 36] yang artinya: "Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun." (QS. An-Nisa: 36). Dalam Tafsir Al-Muyassar / Kementrian Agama Saudi Arabia dikatakan “Dan beribadahlah kepada Allah dan patuhlah kepadaNYa semata, dan janganlah kalian mengadakan bagiNYa sekutu dalam rububiyyah dan peribadahan.”


Dari dua sisi tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan syari’at menjaga dasar yang pertama yaitu agama tidak lain adalah agar agama Allah ini tetap ada dan terjaga dari hal – hal yang merusaknya seperti perbuatan syirik dan lain sebagainya. Dari sisi menjaga eksistensi agama, Allah menerangkan bahwa hanya agama Islam lah yang diterima di sisi-Nya. Mengindikasikan kepada manusia agar tidak mencari kebenaran di dalam agama yang lain, karena kebenaran hanya ada di dalam Islam. Kemudia dari sisi penjagaan agama dari kerusakan atau kebinasaan, Allah telah melarang hambanya untuk berbuat syirik atau menyekutukan Allah dengan siapapun atau apapun. Karena perbuatan syirik adalah perbuatan yang merusak agama.


Dasar yang kedua adalah jiwa yaitu manusia itu sendiri. Dari sisi menjaga eksistensi manusia di bumi ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman {إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلْدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخنْزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ} yang artinya: "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An-Nahl: 115). Dalam Tafsir Al-Muyassar / Kementrian Agama Saudi Arabia dikatakan “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atas kalian bangkai binatang darah yang mengalir dari hewan sembelihan ketika disembelih, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk selain Allah. Akan tetapi orang yang terjepit oleh keadaan darurat akibat raasa takut terhadap kematian sehingga terpaksa memakan sesuatu dari hal-hal yang diharamkan ini, sedang ia tidak berbuat kezhaliman, dan tidak berbuat melampaui batas kriteria keadaan darurat, maka sesunggguhnya Allah maha pengampun baginya lagi maha penyayang terhadapnya, tidak menghukumnya atas perbuatan yang ia lakukan itu.”


 Dari sisi menjaga jiwa atau manusia dari kerusakan atau kebinasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman { وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا } [النساء: 29] yang artinya: "Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisa: 29). Dalam Tafsir Al-Muyassar / Kementrian Agama Saudi Arabia dikatakan: “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNYA serta melaksanakan syariatNYA, tidak halal bagi kalian untuk memakan harta sebagian kalian kepada sebagian yang lainnya tanpa didasari Haq, kecuali telah sejalan dengan syariat dan pengahasilan yang dihalalkan yang bertolak dari adanya saling rido dari kalian. Dan janganlah sebagian kalian membunuh sebagian yang lain,akibatnya kalian akan membinasakan diri kalian dengan melanggar larangan-larangan Allah dan maksiat-maksiat kepadaNYA. Sesungguhnya Allah Maha penyayang kepada kalian dalam setiap perkara yang Allah memerintahkan kalian untuk mengerjakannya dan perkara yang Allah melarang kalian melakukanya.”


Maka dari dua sisi tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan syari’at dalam menjaga eksitensi manusia itu sendiri adalah agar manusia tetap hidup atau eksis di muka bumi ini dan terjaga dari hal – hal yang bisa menyebabkan kepunahan atau kebinasaan bagi umat manusia seperti bunuh diri dan sebagainya. Dari sisi penjagaan eksistensi manusia, Allah telah melarang kita untuk untuk memakan makanan yang tidak baik untuk kita, akan tetapi Allah tetap mengizinkan kita untuk memakan makanan tersebut dalam kondisi tertentu seperti dalam keadaan darurat yang mengharuskan kita untuk memakan makanan tersebut. Menunjukkan penjagaan-Nya terhadap manusia agar mereka tetap eksis di dunia ini. Sementara dari sisi penjagaan manusia dari kerusakan atau kebinasaannya, Allah telah melarang kita untuk membunuh diri kita sendiri. Menunjukkan penjagaan-Nya terhadap manusia agar mereka tidak terjatuh kepada kebinasaan.


Kita lanjutkan ke dasar yang ketiga yaitu akal. Dari sisi menjaga eksistensi akal, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ) (المجادلة: 11).   Yang artinya: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa derajat. (Al-Mujadalah: 11). Dalam Tafsir Al-Muyassar / Kementrian Agama Saudi Arabia dikatakan: “[…]Allah akan meninggikan kedudukan orang-orang beriman yang ikhlas di antara kalian. Allah meninggikan derajat ahli ilmu dengan derajat-derajat yang banyak dalam pahala dan derajat meraih keridhaan. Allah Mahateliti terhadap amal-amal kalian, tidak ada sesuatu yang samar bagiNya, dan Dia akan membalas kalian atasnya.”


Sedangkan sisi menjaga akal dari kerusakan atau kebinasaan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengharamkan khamr atau segala sesuatu yang menyebabkan hilangnya akal. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:


{إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَـٰنُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَاوَةَ وَٱلْبَغْضَاء فِى ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَعَنِ ٱلصَّلَوٰةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُّنتَهُونَ} [المائدة:91]. Yang artinya: Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu. (Al-Maidah:91). Dalam Tafsir Al-Muyassar / Kementrian Agama Saudi Arabia dikatakan: “Sesungguhnya setan hanyalah menghendaki melalai memperindah perbuatan-perbuatan dosa bagi kalian itu untuk melontarkan di tengah kalian perkara-perkara yang menyebabkan permusuhan dan kebencian, disebabkan meminum khamar dan bermain judi, dan ia hendak memalingkan kalian dari mengingat Allah dan shalat dengan hilangnya akal sehat saat meminum khamar dan sibuk dalam kesia-siaan dalam permainan judi. Maka berhentilah kalian darinya.”


Kita dapati di sini bahwa tujuan syari’at dalam penjagaannya terhadap akal adalah memastikan akal tersebut tetap terjaga baik secara eksistensinya maupun terjaga dari hal – hal yang merusak akal bahkan membinasakannya. Dari sisi eksistensinya Allah memberikan keutamaan bagi siapa saja yang menimba ilmu dengan benar dan Ikhlas. Secara tidak langsung Allah memberikan motivasi agar manusia semangat untuk menimba ilmu. Sementara dari sisi penjagaan akal dari kerusakan atau kebinasaan, Allah telah mengharamkan khamr yaitu minuman atau apapun yang dapat merusak akal manusia. Karena akal adalah modal utama manusia untuk dapat menerima syari’at ini.


            Pada dasar yang ke empat yaitu keturunan, daari sisi penjagan syari’at terhadap eksitensi keturunan manusia, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman {وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا}[النساء: 3]. Yang artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa:3). ). Dalam Tafsir Al-Muyassar / Kementrian Agama Saudi Arabia dikatakan: “Dan jika kalian khawatir tidak bisa berbuat adil dalam memperlakukan anak-anak yatim perempuan yang berada di bawah tanggung jawab kalian, dengan tidak memberikan kepada mereka mahar-mahar mereka seperti wanita lainnya, maka tinggalkanlah mereka dan nikahi wanita-wanita yang kalian sukai sealin mereka, dua, tiga, atau empat. Lalu apabila kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara mereka, maka cukuplah kalian dengan satu saja, atau dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki. Hal itulah yang telah Aku syariatkan bagi kalian terkait anak-anak yatim perempuan dan menikahi seorang wanita sampai empat, atau cukup menikahi seorang perempuan saja ata hambasahaya perempuan yang kalian miliki, itu adalah lebih dekat untuk tidak berbuat curang dan melampaui batas.”


            Sedangkan dari sisi penjagaan syari’at terhadap keturunan dari kerusakan atau kebinasaan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman ﴿ وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا ﴾ [الإسراء: 32].  Yang artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32). Dalam Tafsir Al-Muyassar / Kementrian Agama Saudi Arabia dikatakan: “Sesungguhnya zina itu benar-benar amat buruk, dan seburuk-buruk tindakan adalah perzinaan.”


            Dari dua sisi tersebut kita dapati bahwa syari’at ini menaruh perhatian dalam menjaga agar keturunan manusia tetap ada di muka bumi ini. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menghendaki hamba – hamba-Nya untuk menikah, tidak lain agar mereka meneruskan keturunan atau generasinya. Sedangkan dari sisi penjagaan syari’at terhadap kerusakan atau kepunahan keturunan manusia. Syari’at ini telah melarang kita untuk mendekati zina, karena pada hakikatnya perzinahan itu memutus keturunan. Seorang laki – laki yang menzinahi seorang perempuan, maka Ketika sang perempuan tersebut melahirkan anaknya, ia tidak dianggap sebagai ayah dari anak tersebut secara agama. Dan ini menunjukkan bahwa perzinahan itu memutus keturunan.

Masuk kepada dasar yang terakhir yaitu dasar yang ke lima, harta. Dari sisi penjagaan syari’at terhadap eksistensi harta, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman {وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ}. Yang artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”. Dalam Tafsir Al-Muyassar / Kementrian Agama Saudi Arabia dikatakan:  “Dan carilah pahala negeri akhirat pada apa yang Allah berikan kepadamu berupa harta benda, dengan mengamalkan ketaatan kepada Allah melalui harta itu di dunia ini. Dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari dunia dengan jalan bersenang-senang di dunia ini dengan hal-hal yang halal, tanpa berlebihan. Dan berbuat baiklah kepada orang-orang dengan memberikan sedekah, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dengan (memberikan) harta yang banyak. Dan janganlah kamu mencari apa yang diharamkan oleh Allah berupa tindakan berbuat kerusakan di muka bumi dan penganiayaan terhadap kaummu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan dan Dia akan membalas mereka atas amal perbuatan buruk mereka.”


Dari sisi penjagaan syari’at terhadap harta manusia agar tidak terjatuh kepada kebinasaan dan kerusakan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: {وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ}. Yang artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah:188). Dalam Tafsir Al-Muyassar / Kementrian Agama Saudi Arabia dikatakan:  “sumpah dusta, ghosob, mencuri, suap, riba, dan lain sebagainya. Dan janganlah pula kalian menyampaikan kepada penguasa penguasa berupa alasan-alasan batil untuk tujuan dapat memakan harta milik segolongan manusia dengan cara batil, Sedang kalian tahu haramnya hal itu bagi kalian.”


Jika kita cermati dua sisi di atas, maka syari’at telah menjaga harta manusia agar tetap eksis yaitu dengan perintah agar manusia tidak melupakan bagiannya di dunia, yang salah satunya adalah harta. Maka secara tidak langsung syari’at ini telah memerintahkan manusi untuk mencari harta di dunia ini. Sedangkan dari sisi penjagaan syari’at terhadap harta manusia agar tidak jatuh kepada kebinasaan adalah dengan larangan memakan harta orang lain dengan dengan cara yang zalim.


Akhirnya kita sampai kepada kesimpulan. Setelah kita menyelami dalil – dalil tentang tujuan syari’at ini, ternyata hampir semua tujuan – tujuan dari syari’at ini mengarah kepada kemaslahatan atau kebaikan manusia itu sendiri. Baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Maka sudah sepatutnya kita sebagai manusia yang diberikan akal, berpikir lebih jauh lagi dalam mangatur langkah – langkah yang mengantarkannya kepada kebahagiaan di dunia maupun akhirat kelak.